Nasionalisme dan Semangat Keislaman Pemuda Millenials untuk Siswa Sekolah Islam Terpadu

Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokaatuhu.

Perkenalkan nama saya Kholid Zaim saat ini menempuh pendidikan di Universitas Negeri Jakarta jurusan pendidikan sejarah. Dalam tulisan ini, saya akan mencoba memberikan pengalaman saya pribadi sebagai alumni sekolah Islam terpadu yang tentunya pengalaman tersebut sangat membekas pada pola pikir, tindakan, dan pengamalan yang saya lakukan bagi lingkungan, terutama menjadi faktor mengapa saya memilih untuk menjadi seorang pendidik sejarah.

Menempuh pendidikan selama enam tahun di SDIT Ummul Quro Bogor (2003-2009) dan tiga tahun di SMPIT Ummul Quro Bogor (2009-2013) saya bersyukur dikelilingi oleh guru-guru yang sangat luar biasa, bahkan menjadi acuan saya dalam mendidik sejarah kepada siswa dan masyarakat. Sembilan tahun pendidikan ini saya menjadi pelajar yang berbeda dari teman-teman yang lain seusia saya, mengapa? Saya mengalami masa yang sangat menyenangkan ketika di bangku sekolah dasar, tetapi ada satu kegiatan yang saya gemari lebih daripada teman sebaya saat itu terutama kawan ikhwan yang lain. Setiap hari tidak pernah absen untuk mengunjungi perpustakaan sekolah, saya masih ingat betul nama pustakawan saat itu : Pak Asep namanya. Selalu ramah menyapa kami yang haus akan ilmu pada umur yang masih sangat belia dan kebanyakan lebih suka bermain daripada membaca. Akan tetapi, saya ingat betul Pak Asep berkata pada diri saya. “Kamu bagus sering ke perpustakaan. Baca apa aja yang ada disini kamu ambil, kamu baca, dan kamu ingat. Sukses itu Lid, bagi orang yang membaca!”

Saat itu saya masih kelas 4 SD. Kata-kata itu membekas pada benak saya yang memiliki kebiasaan membaca. Apa bisa seorang yang sering membaca menjadi orang sukses di masa mendatang?

Di masa SD pula saya bertemu dengan guru yang sangat memberikan makna pada hidup saya. Beliau adalah guru IPA. Namanya Pak Ipik Taufik. Dari penampilan, tidak ada yang spesial menurut saya. Tidak seperti perawakan ayah saya—ayah saya seorang guru dan bagi saya menjadi prototype guru ideal saat itu. Beliau kurus, tidak terlalu tinggi, bahkan bicara pun seperti orang yang bercanda. Namun, di balik itu beliau mempunyai cara yang ampuh untuk memotivasi siswa.

Materi IPA kelas 4 SD saat itu membahas tentang gaya, Pak Ipik tidak memulai dengan penjelasan apa itu gaya. Tahukah Anda apa yang beliau katakan?

“Kalian tahu tidak, siapa tokoh yang menaklukan Konstantinopel?”

Saya tahu dimana itu Konstantinopel dan saya tahu siapa itu Al-Fatih, tetapi tidak dengan teman-teman saya. Saya angkat tangan dan mengatakan “Saya tahu Pak, beliau Khalifah Utsmani yang menaklukan Romawi Timur”. Kemudian Pak Ipik menggambar di papan tulis sebuah kapal dengan roda di bawah kapal tersebut dengan orang-orang yang menarik kapal tersebut. Singkatnya, beliau menjelaskan bagaimana para  pejuang Islam saat itu memanfaatkan gaya tarik dan dorong untuk menarik kapal melewati bukit. Pengalaman itu yang membekas pada diri saya, tentang sejarah yang mengagumkan. Sejarah mengajarkan kita tentang apapun yang ada di dunia ini, yang berkorelasi dengan semua pelajaran—jika guru itu memahami. Hari ini saya selalu mengajarkan sejarah ke siapapun dengan mengawali dengan hal-hal yang sederhana. Namun, mungkin luput dari perhatian kita.

Kebiasaan literasi ini terus berlanjut hingga masuk ke bangku sekolah menengah pertama dan saya bersekolah di tempat yang sama pula, dengan lingkungan yang tidak terlalu berbeda, termasuk perpustakaannya. Perpustakaan di sekolah banyak memiliki buku yang relevan bagi saya yang mulai menyukai humaniora terutama sejarah. Di pojok sebelah kanan ruangan perpustakaan itu, terdapat buku-buku ensklopedia sejarah Islam dan sejarah Indonesia. Hampir setiap hari saya membaca di pojok tersebut, mencoba memahami mulai dari Perang Badar sampai Perang Mataram. Hari ini saya mengerti, bahwa keduanya memiliki semangat yang sama, bahwa yang hak harus diperjuangkan dan yang batil harus dimusnahkan. Saya bersyukur, sekolah saya memiliki fasilitas yang sangat cukup untuk menyediakan buku-buku tentang sejarah Islam, peradaban dunia, sejarah Indonesia, dan nasionalisme.

Waktu kemudian berlalu, saya menjadi mahasiswa dan menjadi pejuang sejarah. Saya bergabung dalam Komunitas Historia Indonesia, merupakan komunitas kesejarahan yang mencoba menghadirkan sejarah dalam bentuk yang menarik. Biasanya kita mengadakan walking tour ke tempat-tempat bersejarah di sekitar kita. Mulai dari museum-museum, bekas balai kota Batavia, tempat ibadah—masjid, gereja,dan klenteng—yang bersejarah di Jakarta, hingga ke pelabuhan di ujung Jakarta.

Tantangan terbesar kita hari ini adalah bagaimana menghadirkan pendidikan sejarah yang menarik bagi siswa atau generasi millenials. Perkembangan pendidikan sejarah di Indonesia dan di dunia pada saat ini menunjukkan adanya berbagai permasalahan dasar. Permasalahan tersebut berkenaan dengan berbagai aspek pendidikan sejarah nasional atau sejarah bangsa itu di wilayah yang didiami bangsa tersebut. Maka dari itu, generasi millenials setidaknya mengetahui apa saja narasi sejarah yang ada disekitar mereka. Mungkin tantangannya berbeda dengan di zaman saya ketika sekolah, namun fasilitas berupa teknologi smartphone dan banyaknya sumber informasi didalamnya, seharusnya menjadi mempermudah generasi millenials mengetahui sejarah lingkungannya. Pertanyaan mendasar yang selalu ditanyakan adalah, mengapa sejarah itu penting?

Sederhananya adalah, apakah yang kita alami dan kita rasakan hari ini terjadi dengan tiba-tiba? Sebagai contoh mengapa saya bisa bersekolah di sekolah Islam terpadu? Apakah sudah sejak dulu masyarakat kita bersekolah? Hari ini kita bisa merasakan kemerdekaan yang kita rayakan setiap 17 Agustus, lantas apa yang dirasakan masyarakat ketika kemerdekaan itu tidak ada? Apakah kondisinya sama seperti hari ini?

Jika generasi millenials sekarang ini tidak mengetahui apa yang membentuk kehidupan hari ini—tentunya karena adanya sesuatu yang dialami pada masa dahulu, apa yang akan terjadi? Mungkinkah jika generasi millenials saat ini tidak mengetahui itu, bisa kita samakan dengan orang yang terbentur kepalanya dan mengalami amnesia? Dia lupa siapa orang tuanya yang telah mendidik dan membentuk dia, bahkan lupa saya sejatinya dirinya sendiri itu. Tentunya dia akan menjadi seperti orang gila dan sangat mudah untuk diatur seperti layaknya robot—karena tidak ada ingatan masa lalu apapun di kepalanya. Bisa Anda bayangkan bagaimana ingatan kolektif bangsa tidak diketahui oleh generasi millenial hari ini? Dia akan sangat mudah disusupi informasi-informasi yang sebetulnya bertolak belakang dari apa yang pernah dialami di masa sebelumnya. Setiap masa memiliki Zeitgeist (Zeit; berarti waktu atau zaman dan Geist; yang berarti jiwa) atau sederhananya adalah semangat zaman. Tantangan zaman hari ini ditentukan oleh zaman sebelumnya, dan apa yang dilakukan hari ini mempengaruhi masa depan. Jadi sejarah bersifat tiga dimensi masa lalu—masa kini—masa depan.

Kembali ke pengalaman saya ketika sekolah. Sekolah saya berada di JL.KH. Sholeh Iskandar, yang saya tidak ketahui siapa sebenarnya tokoh tersebut? Bahkan tidak pernah terbersit dibenak saya untuk mencari tahu lebih siapa, apa, dan bagaimana kehidupan dan peranan beliau itu? Padahal saya ingat sekali, sekolah saya waktu itu sering merespons hal-hal yang bersifat internasional, seperti isu Palestina. Akan tetapi, yang saya sesalkan mengapa hal yang berada di sekitar kita, luput dari perhatian dan diajarkan kepada kami siswa yang bersekolah di sekitar jalan tersebut?

Kemudian dewasa ini, saya mengetahui siapa itu KH. Sholeh Iskandar yang selama sembilan tahun nama beliau ada dalam jalan sekolah yang saya menuntut ilmu di sekitar jalan itu. Beliau adalah pejuang kemerdekaan dengan pangkat terakhir sebagai Kolonel. Belakangan lebih dikenal dengan kiai haji Sholeh Iskandar. Pada masa awal kemerdekaan membentuk Laskar Rakyat  Markas Perjuangan Rakyat Leuwiliang (LR MPRL) yang kemudian menjadi Batalyon VI lalu Batalyon O, Tirtayasa, Siliwangi (1947). Bahkan KH. Sholeh Iskandar membuat capaian baik nasional dan internasional, seperti, membangun perumahan modern di Desa Pasarean, Bogor yang diakui UNESCO sebagai perumahan modern pertama di dunia ketiga. Setelah pensiun dari ketentaraan, beliau fokus dalam pendidikan Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren Pertanian Darul Falah (1960) di Ciampea, Bogor.

Keterangan Foto: Mayor KH. Sholeh Iskandar masa revolusi.

Saya berpikir, jika semua civitas akademika tahu setidaknya dari nama tokoh di lingkungannya, terlebih memaknai apa yang diperjuangkan KH. Sholeh Iskandar. Tentunya akan menimbulkan rasa cinta dan memiliki akan nasionalisme kebangsaan dalam rangkaian sejarah lokal dimana tempat mereka berada. Dengan demikian, kedekatan emosional itu dapat karena ada di lingkungan kita sendiri. Saya yakin, tidak ada tempat di dunia ini, yang tidak memiliki sejarahnya sendiri. Marilah sekarang kita gali apa saja yang ada di lokalitas kita? Ingatan kolektif masa lalu di lokalitas kita, akan membentuk suatu ingatan kolektif nasional—tentunya ketika kita membicarakan nasionalisme.

Keterangan Foto: KH. Abdullah Bin Nuh (Kiri), KH. Sholeh Iskandar (Tengah), dan Muhammad Natsir (Kanan)

Kemudian saya ingin berbagi pengalaman ketika menjadi tim tata pamer dan narasi sejarah pada Launching Uang Tahun Edar 2016. Ketika semua nominal uang rupiah mengalami penggantian tokoh pahlawan. Kurang lebih terdapat dua belas pahlawan di sebelas mata uang—uang nominal seratus ribu terdapat dua pahlawan:Soekarno dan Hatta. Saya bertugas membuat narasi sejarah tiap-tiap pahlawan di buku numismatik yang menjadi souvenir ketika launching tersebut. Narasi sejarah tersebut juga terpajang di pameran memorabilia pahlawan pada saat launching. Yang menarik, untuk pertama kalinya, pahlawan dari Papua dimuat dalam uang rupiah, nominal sepuluh ribu.

Selang beberapa bulan kemudian, saya berkunjung ke sekolah saya, SMPIT Ummul Quro Bogor. Saat itu bersamaan sedang ada kegiatan pelatihan karya ilmiah. Saya berinisiatif membuat kuis dengan hadiah uang baru tersebut, yang saat itu masih jarang sekali dipegang oleh masyarakat—karena baru dua bulan launching. Salah satunya saya memberikan uang nominal sepuluh ribu rupiah, dengan pahlawan Frans Kasieopo, salah satu pejuang kemerdekaan di Papua. Miris hati saya, mengapa? Karena siswi yang menerima uang itu, bercanda kepada temannya dan memiripkan ekspresi wajahnya seperti “monyet” yang saya tahu tindakan itu meledek pahlawan Frans Kasieopo—memang pasca uang itu rilis netizen ramai menghujat dan memiripkan pahlawan Frans Kasiepo secara tidak terpuji. Ini mengindikasikan, generasi millenial belum sepenuhnya bisa menghargai perbedaan dan masih bersifat rasis. Padahal Papua dan masyarakatnya adalah bagian dari Indonesia, bagian dari kita—jika kita masih menyebut bagian dari Indonesia. Sebetulnya saya mendapati juga ketika saya bersekolah ada yang mencoret wajah pahlawan di buku sejarah. Oleh guru, kemudian,  siswa tersebut dihukum dengan mem-print foto pahlawan tersebut dan menempelkannya kembali.

Sangat berbahaya jika kebiasaan ini terus berlanjut, dan masa muda mereka terbiasa dengan menghina orang yang berbeda darinya. Masalahnya hari ini, negara kita dihadapi oleh isu disintegrasi, perpecahan, karena adanya intoleransi baik secara in-group maupun out-group. Semangat keislaman kita tentunya sejalan dengan nasionalisme hidup berbangsa dan bernegara. Media yang bisa mengajarkan itu adalah melalui sejarah dan mengunjungi tempat-tempat bersejarah di sekitar mereka. Melihat perbedaan di lingkungan mereka yang sebenarnya itu realita mereka nanti ketika menjadi pemimpin.

Mengacu pada kurikulum nasional, sejarah telah mengajarkan pentingnya semangat juang yang tinggi untuk membela kebenaran dan keadilan, mengajarkan muatan nilai-nilai cinta dan bela tanah air, serta selalu peduli akan kejayaan dan kemakmuran bangsa, penghargaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusian. Sejarah telah mengajarkan toleransi terhadap realitas pluralisme di Indonesia sebagai suatu realita kehidupan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip aqidah. Dalam hal pluralisme agama, SIT memahaminya dalam kerangka hubungan antar manusia (muamalah) dimana dalam konteks muamalah Islam mewajibkan umatnya untuk menghargai, menghormati, bahkan membela hak-hak siapapun yang tertindas. Semangat ini bisa kita dapat dari mengetahui dan menghayati semangat perjuangan para pahlawan.

Daftar Pustaka

Hasan, Hamid. Pendidikan Sejarah Indonesia; isu dalam ide dan pembelajaran. 2012. Rizqi Press

Lestari, Heni. Pendidikan Agama dan Nasionalisme (studi pada Sekolah Islam Terpadu di Jakarta). 2018. Young Progresive Muslim

Sudarjat, Edi. Bogor Masa Revolusi 1945-1950. 2015. Komunitas Bambu

Sumber berita : https://jsit-indonesia.com/2020/08/nasionalisme-dan-semangat-keislaman-pemuda-millenials-untuk-siswa-sekolah-islam-terpadu/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *