Ancaman covid 19 begitu seram. Potensi penyebarannya sangat cepat dan luas. Sehingga efek psikogis yang ditimbulkan begitu dahsyat ; Kepanikan masal , trauma karantina hingga kematian dan pemakaman tanpa kunjungan.
Memperparah keadaan hingga menjadikan masyarakat hampir-hampir ‘Paranoid’.
Masyarakat hampir kehilangan nalar. Begitu mudah percaya dengan apa saja yang berbau corona. Baik yang menyenangkan maupun menyeramkan.
Kepanikan dan trauma memang selalu berpotensi melemahkan logika. Dan tanpa logika orang bisa melakukan apa saja dan bisa menerima apa saja. Tanpa mencermati, tanpa mewaspadai. Termasuk yang sekarang sedang dan terus didengungkan, New Normal.
Sekilas logikanya memang masuk.
Setelah Pandemi, PSBB, masyarakat harus kembali beraktifitas dengan tetap menjaga tidak ada pemularan covid-19.
Lalu dibuatlah protap aktifitas di pusat-pusat massa seperti sekolah, mall, masjid dsb.
Langkah antisipatif ini secara praksis sangat baik.
Lalu masalahnya di mana?
Masalahnya menjadi sangat berbahaya ketika protap kesehatan yang sifatnya darurat dibungkus dengan label New Normal. Karena akan menimbulkan misinterpretasi yang berujung pada koreksi tidak adil terhadap tradisi.
1. Label New Normal menimbulkan interprestasi ‘permanen’. Bukan sementara dalam rangka darurat corona.
2. Interprestasi ‘permanen’ selanjutnya menimbulkan proses koreksi ‘nilai’ secara tidak adil. Dimana tanpa konsideran dan pembelaan langsung jatuh vonis buruk, tidak sehat dan berbahaya untuk tradisi lama ( sebelum pandemi) dan harus (dipaksa) ditinggalkan diganti dengan tatanan baru yang lebih, aman dan sehat.
3. Koreksi tidak adil yang terus menerus didengungkan secara perlahan akan menimbulkan pertanyaan ‘keraguan’ terhadap kredibilatas lembaganya, adat bahkan agama.
Seperti orang tua yang selalu berkomentar pada anaknya yang belum berhasil melakukan sesuatu dengan kata kata..kamu ‘tidak bisa’ maka akan muncul interpretasi ‘saya tidak bisa, saya bodoh’.
beda dengan kata – kata ‘ kamu belum bisa’.akan menimbulkan inteprestasi ‘sekarang saya belum bisa..nanti pasti bisa’.
Demikian maka merk ‘New Normal’ yang terus didengungkan
Pelan tapi pasti akan menimbulkan interpretasi:
Berjabat tangan salah. Merapatkan shof dalam salat berjamaah salah. Berkumpul bamyak orang salah. Dsb
Dan pada akhirnya..jika sholat berjamaah, berjabat tangan dsb ajaran agama…berarti agamanya salah.
4. Jika agama sudah meragukan maka tidak perlulah taat dalam beragama.
yang penting bagaimana konsensus bisa diambil dan dijalankan dalam masyarakat. Karena konsensus lebih bisa menyesuaikan dengan keadaan.
5. Saat sekarang, Proses koreksi ini lebih cepat berlangsung karena fondasi aqidah sudah dihancurkan lebih dulu, diamana Covid 19 di-image-kan sebagai Tuhan baru yang menentukan hidup mati seseorang menggantikan Alloh SWT, bukan alat yang dikendalikan Alloh SWT.
Inilah ancaman peradaban baru, peradaban tanpa Agama.
Na’udzubillahi min dzalik.
Jogja, 29 Mei 2020.
Ery.masruri.